Setiap Kita Berhak untuk Sukses
Abstract
“In the heart of Jakarta, at the intersection of Jalan Merdeka Selatan No. 18, precisely in the southwest corner of the National Monument (Monas), I call it as Mersel 18, a sudden burst of colors painted the sky. It was a rainbow—a celestial bridge connecting earth and sky. The sunlight refracted through raindrops, creating this ephemeral masterpiece.
Mersel 18, as it’s affectionately known, witnessed this magical phenomenon. The towering Monas, with its pinnacle made of bronze, stood as a backdrop to this natural spectacle. The rainbow seemed to welcome the arrival of a new organization—the Department of Mining and Energy.
But this rainbow held deeper meanings. First, it symbolized the ever-changing policies of ministers who came and went, leaving their imprints on Mersel 18. Second, it mirrored my bureaucratic journey—a twist from the education sector to the energy sector. From carrying the boss’s briefcase to scaling the heights of energy bureaucracy, I left my colorful trail, much like the hues of a rainbow.
In the corporate world of state-owned energy companies, I nearly became a commissioner, completing the vibrant spectrum of my career. The absence of coal, like a missing color, only enhanced the beauty of this administrative arc.
As for Indonesia’s comprehensive energy management, it began earnestly in the mid-1970s. The Gulf War-induced energy crisis prompted Arab nations to boycott oil supplies to the United States. The defeat of Arab countries in the 1973 Yom Kippur War against Israel led them to strategize anew. Recognizing their oil reserves as a potent weapon, they wielded it against both Israel and industrialized nations.
So, there it was—a rainbow at Mersel 18, bridging policy shifts, bureaucratic twists, and the energy landscape. A vivid reminder that even in the complex world of governance, colors emerge, fade, and reappear, much like the fleeting beauty of a rainbow against Jakarta’s skyline.
Remember, this essay is a blend of reality and imagination, much like the colors of a rainbow—both tangible and elusive.
PELANGI DI LANGIT “MERSEL 18” : The Untold Story
Pelangi, jembatan langit yang mempesona, tiba-tiba muncul di sudut Jalan Merdeka Selatan No. 18, Jakarta Pusat, tepat di barat daya Monumen Nasional (Monas). Saya menjulukinya dengan sebutan “Mersel 18”. Pelangi ini bukan hanya fenomena alam biasa; bagi saya, ia menjadi saksi bisu atas peristiwa menarik yang melibatkan kehadiran baru Departemen Pertambangan dan Energi pada tahun 1978, di lokasi yang kemudian saya sebut sebagai Mersel 18, markas besar kementerian yang mengurusi energi di negeri ini, hingga kini.
Monas, menjulang tinggi dengan puncaknya yang memancarkan keemasan, menjadi latar belakang megah bagi pelangi ini. Bagi saya, pelangi yang muncul di Mersel 18 membawa makna mendalam. Ia melambangkan perubahan kebijakan yang terus-menerus dari para menteri yang berganti-ganti di Departemen Pertambangan dan Energi, sementara bumi merefleksikan perjalanan karier birokrasi saya yang senantiasa beriringan dengan evolusi departemen ini, dari Departemen Pertambangan dan Energi (Deptamben) hingga Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kita kenal sekarang ini.
Perjalanan karier birokrasi saya seperti lengkungan pelangi yang berwarna-warni, melintasi berbagai jabatan mulai dari tingkat bawah hingga hampir mencapai puncak di sektor energi, kecuali dalam industri batubara. Dalam birokrasi energi, saya pernah menjadi dirjen di hampir semua sub-sektor di sektor energi kecuali sub-sektor batubara, sedangkan dalam dunia korporasi energi, saya pernah menjadi komisaris di hampir semua BUMN Energi kecuali di bidang batubara, seolah melengkapi spektrum karier saya di bidang energi. Kehilangan peran dalam industri batubara hanya menambah keindahan lengkungan administratif ini.
Mersel 18 seolah menjadi simbol perjalanan panjang kebijakan dan birokrasi di sektor energi yang dikomandani oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang energi. Pelangi di atasnya mencerminkan pergeseran kebijakan, tikungan birokratis, dan dinamika lanskap energi. Sebagai seorang yang terlibat dalam sektor ini sejak awal, saya menyaksikan bagaimana kebijakan dan karier birokrasi saling terkait, membentuk sebuah narasi yang kompleks dan berwarna.
Pelangi di Mersel 18 mengingatkan kita bahwa bahkan dalam kompleksitas dunia pemerintahan, ada keindahan yang muncul dan memudar, seperti warna-warni pelangi di langit Jakarta. Esai ini merupakan perpaduan antara realitas dan imajinasi, sebagaimana pelangi yang sulit didekati namun selalu menyajikan keindahan yang menakjubkan.
Jika Mersel 18 ibaratnya menjadi saksi bisu dalam perkembangan kementerian yang mengurusi energi di negeri ini, saya yang hanyalah merupakan sekrup kecil dalam belantara sektor energi yang maha luas, setidaknya saya menjadi saksi yang tidak bisu dalam perkembangan birokrasi sektor energi yang mengurusi energi di negeri ini, setidaknya bisa dipakai sebagai bahan cerita untuk anak-cucu saya di kemudian hari.